Paradigma yang Keliru Mengenai Sumber Daya Laut dan Pesisir di Indonesia

Kamis, 21 Oktober 2010

Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia yang mempunyai ribuan pulau dan wilayah perairan yang sangat luas beserta sumberdaya yang terkandung di dalamnya baik hayati maupun non hayati. Belum lagi kegunaan laut sebagai media transportasi yang sangat penting, terutama bagi perdagangan dunia. Hal ini ditunjang dengan letak Indonesia yang sangat strategis diantar dua benua dan dua samudera, menyebabkan negara ini dilalui sebagai alur perlayaran internasional yang nilainya mencapai ratusan milyar dolar per tahun. Selain itu peninggalan-peninggalan dari masa lalu seperti harta benda dari kapal yang karam di lautan kita juga sangat banyak dan memiliki nilai yang sangat tinggi. Semua potensi itu seharusnya digunakan untuk kepentingan bangsa dan negara. Namun yang ada sekarang ini sangat jauh dari yang diharapkan. Kepedulian pemerintah di sektor kelautan dan perikanan secara “resmi” pada medio 2000 dengan didirikannya Kementrian Kelautan dan Perikanan, padahal sejak jaman dulu Bangsa Indonesia terkenal sebagai pelaut ulung yang gemar mengarungi samudera seperti pada lagu yang mungkin pada masa kecil sering kita nyanikan “Nenek Moyangku Seorang Pelaut…” .
Paradigma yang pertama berkembang di Bangsa ini tentang laut adalah lautan sebagai semacam penghalang atau pemisah. Hal ini ditunjukan di bidang pembangunan dimana pembangunan yang ada di negeri ini belum merata, hanya terpusat disatu wilayah, sehingga menimbulkan ketidakseimbangan dimana satu wilayah maju sedangkan wilayah lainnya menjadi terbelakang. Celakanya lagi pemerintah berencana membuat jembatan yang menhubungkan Pulau Jawa dan Sumatera. Secara ekonomi memang dengan pembangunan jembatan itu dapat mempercepat trasportasi produk/komoditi, namun ingat bahwa daerah Selat Sunda merupakan salah satu daerah yang rentan terhadap aktivitas gunung berapi dan gempa bumi. Selain itu, belum lagi masalah ekologi dan sosial dengan dibangunnya jembatan itu. Paradigma yang kedua yang berkembang adalah lautan sebagai tempat sampah. Bila kita lihat di daerah pesisir, terutama pesisir kota-kota besar dimana wilayahnya sudah tercemar oleh limbah-limbah industri dan rumah tangga. Limbah tersebut menhancurkan ekosistem pesisir seperti hutan mangrove dan terumbu karang. Limbah-limbah tersebut sangat sukar untuk terurai dan memliki efek agregat bagi makhluk laut beserta tingkat trofik / rantai makananya. Contohnya seperti ini logam berat seperti merkuri dapat ada di ikan kecil, lalu ikan kecil di makan oleh ikan besar, di ikan besar kandungan logamnya tambah banyak, lalu bayangkan bila ikan besar tersebut dimakan manusia, kadar logam berat semakin bertambah di tubuh manusia dan dapat menyebabkan penyakit seperti kanker atau kelainan pada bayi. Itu hanya salah satu contoh, pada kenyataannya lebih banyak dari ini pada kasus di lapangan. Kalau kita lihat di wilayah Indonesia timur, disana ada suatu masyarakat yang sangat menjaga lautnya seperti dengan tidak membuang sampah ke laut, tidak menangkap ikan secara berlebihan dan menggunakan alat tangkap yang relatif ramah lingkungan, karena laut tersebut sebagai sumber kehidupan mereka. Mereka sadar bahwa bila mereka merusak laut, maka itu sama saja dengan bunuh diri, karena mereka sangat menggantungkan hidupnya dari laut. Paradigma yang ketiga adalah ekosistem mangrove tidak bernilai ekonomi. Di wilayah Pluit, telah terjadi alih fungsi ekositem hutan mangrove dari hutan menjadi komplek perumahan mewah. Padahal pada awalnya terdapat kurang lebih 1000 Ha hutan mangrove di Pluit, namun akibat keserakahan manusia di wilayah itu luas total hutan mangrovenya menjadi 100 Ha. Padahal secara ekologis ekosistem mangrove mempunyai fungsi yang sangat besar, yakni sebagai pemecah ombak alami, tempat memijahnya dan mencari makan beberapa spesies pesisir, dll. Pada tahun 2008, penulis sempat berbincang-bincang dengan salah satu masyarakat yang berprofesi sebagai bekas nelayan di wilayah itu, menurutnya dulu nelayan lokal yang sudah lama menetap didaerah itu sangat diuntungkan pada saat ekositem mangrove di Pluit saat masih terawatt dengan baik, karena mereka relatif mudah untuk mencari ikan. Mereka menjadikan wilayah ekositem mangrove itu sebagai tempat mereka hidup, seperti mencari kepiting, ranting, dll. Karena merasa sangat tergantung dengan ekosistem mangrove itu, mereka turut menjaga ekositem tersebut. Namun semenjak terjadinya alih fungsi menjadi lahan perumahan mewah dan reklamasi pantai ekositem mangrove tersebut menjadi rusak, keseimbangan ekologis menjadi terganggu akibatnya mereka mencari ikan menjadi sulit. Bila dulu hanya mencari ikan cukup dengan menjaring, sekarang menjadi sulit. Akibatnya mereka mulai menggunakan cara-cara yang illegal dalam mencari ikan seperti menggunakan bom ikan. Selain itu mereka juga terpaksa menjadi penjual terumbu karang, hal ini membuat ekosistem terumbu karang tersebut sebagai salah satu habitat ikan di disitu menjadi rusak. Hal ini salah satu contoh saja bahwa masyarakat yang dulu dapat melestarikan alam namun karena adanya “egoisme” dari pengusaha dan pemerintah, masyarakat tersebut terpaksa merusak alam yang mungkin sudah turun-temurun mereka jaga, namun akibat tuntutan perut, suka atau tidak suka mereka terpaksa melakukannya. Padahal secara ekologis, kedua ekosistem tersebut sangat besar nilainya, belum lagi nilai valuasi ekonominya.
Memang dalam melestarikan laut tidak harus menjadi seorang ahli kelautan. Masyrakat kecil yang mungkin secara akademik tidak mempunyai gelar dapat sadar bahwa laut harus dilestarikan. Mereka menjaga laut dengan cara dan gaya masing-masing sesuai dengan kebutuhannya. Bagi mereka sumberdaya kelautan dan pesisir sebagai sumber kehidupan, sehingga harus dijaga dan dilestarikan. Namun akibat keserakahan manusia dalam mengelola laut dan sumberdaya pesisir, rasa memiliki laut tidak ada, rasa itu diganti oleh rasa tamak, egois dan berorientasi profit dengan menghiraukan nilai-nilai ekologi, sosial serta kearifan lokal yang ada didalamnya. Pemerintah pun sebagai regulator seharusnyanya peka dan tegas dalam menhadapi oknum-oknum yang serakah ini, jangan hanya tebang pilih dimana masyarakat kecil saja yang ditindak tegas, pengusaha ataupun penjabat yang melanggar aturan juga ikut ditindak tegas, ingat bahwa 1 ekor teri tidak sama nilainya dengan 1 ekor kakap. Namun ada juga tindakan yang patut di contoh, seperti kasus yang ada di Taman Nasional Karimun Jawa, dimana pemerintah dan masyarakat setempat (nelayan) bahu membahu dalam menjaga ekosistem disana. Pemerintah melalui Taman Nasional Karimun Jawa bisa dibilang tidak memiliki armada kapal dan SDM untuk melakukan pengawasan, namun mereka meminta bantuan nelayan setempat untuk melakukan pengawasan dengan imbalan bahan bakar. Bahan bakar nelayan di subisdi oleh Taman Nasional Karimun Jawa dengan syarat mereka tidak menggunakan alat tangkap yang merusak lingkungan dan melaporkan bila ada penggunaan alat tangkap semacam itu. Salah satu cara yang cukup unik dan patut di coba memang. Penulis teringat pesan salah satu narasumber seminar pada MUNAS VII Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan Indonesia (HIMITEKINDO) di Pekanbaru, Riau pada bulan Januari 2010 yang isinya “Bila kita berbicara mengenai laut, maka kita harus melihatnya secara menyeluruh (integral) di segala sudut pandang, baik itu secara ekonomi, ekologi, teknologi, sosial, dll, karena laut itu memiliki karateristik yang sangat unik”. Saya rasa sudah saatnya lirik yang ada pada lagu diatas menjadi “hidup” kembali. Amin.


Oleh : Mochamad Iskandarsyah

0 komentar:

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes